Gender dipahami sebagai
suatu konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur
tertentu yang dikonstruksi. Hal ini merupakan hasil bentukan ketentuan
kehidupan bersosial bukan biologis. Gender sebagai konsep yang mengacu pada
peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan
dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Gender memiliki
pengertian perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bukan
pada tataran biologis dan kodrat Tuhan, melainkan dalam tataran sosial budaya.
Gender merupakan cara pandang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan
melalui proses sosial dan budaya yang dikonstruksi oleh manusia, baik laki-laki
ataupun perempuan melalui proses sosial
dan budaya yang panjang dalam sejarah peradaban manusia.
Adapun ideologi gender
adalah segala aturan, nilai, mitos, yang mengatur hubungan laki-laki perempuan
yang didahului oleh pembentukan identitas feminisme dan maskulin. Ideologi
tersebut dipertahankan dan disosialisasikan melalui berbagai pranata seperti:
keluarga, pendidikan, agama, karya sastra dan seni lainnya, politik negara,
media massa, dan lain-lain. Sebagai contoh: publik adalah dunia laki-laki,
domestik adalah dunia perempuan, kekerasan yang dialami perempuan adalah wajar,
perkosaan terhadap perempuan yang terjadi dikarenakan wanita tidak dapat
menjaga diri.
Gender menjelaskan
semua atribut, peran dan kegiatan yang terkait dengan menjadi laki-laki atau
menjadi perempuan. Gender berkaitan dengan bagaimana kita dipahami dan
diharapkan untuk berfikir dan bertindak sebagai laki-laki atau perempuan karena
begitulah cara masyarakat memandangnya.
Kesetaraan
gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki
maupun perempuan.
Keadilan
gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda,
subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan.
Ketidakadilan gender
merupakan ketimpangan yang terjadi sehingga mengakibatkan salah satu gender
mengalami diskriminasi. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut antara lain:
1.
Marginalisasi
Suatu
proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan
kemiskinan.
Banyak
cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah
satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa
perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja
diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika
hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan
dengan alasan gender.
Contoh
:
a)
Guru
TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai
pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
b)
Masih
banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan
tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena
alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan
dan juga alasan faktor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui.
c)
Perubahan
dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan
menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.
2. Subordinasi
Suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang
dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat,
telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan.
Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik
atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi.
Contoh :
a)
Masih
sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan
atau penentu kebijakan dibanding laki-laki.
b)
Dalam
pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat
nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
c)
Masih
sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota
legislatif dan eksekutif ).
3.
Sterotipe
atau Pelabelan Negatif
Semua
bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan
yang sama, yaitu stereotipe gender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu
sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau
kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Dalam hal
ini, seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan.
Contoh
:
a) Perempuan dianggap cengeng, suka
digoda.
b) Perempuan tidak rasional, emosional.
c) Perempuan tidak bisa mengambil
keputusan penting.
d) Perempuan sebagai ibu rumah tangga
dan pencari nafkah tambahan.
e) Laki-laki sebagai pencari nafkah
utama.
4. Kekerasan
Tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan
oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau
negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter
perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminisme dan laki-laki maskulin.
Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki
dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap
lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Contoh :
1.
Kekerasan
fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam
rumah tangga.
2.
Pemukulan,
penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena konsekuensi tertentu yang
dibebankan kepada istri untuk harus melayani suaminya. Hal ini bisa terjadi
karena konstruksi yang melekatinya.
3.
Pelecehan
seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung
dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa
kerelaan si pemilik tubuh.
4.
Eksploitasi
seks terhadap perempuan dan pornografi.
5.
Genital
mutilation:
penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karena alasan untuk
mengontrol perempuan.
6.
Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh
pemerintah tetapi juga dipungut pajak darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang
diakibatkan oleh sistem tertentu dan pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah.
5.
Beban
Ganda (double burden)
Beban
pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan
jenis kelamin lainnya. Ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah
publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah
domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan
pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau
anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih
tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang
berlipat ganda.
Dengan adanya uraian tersebut diatas,
saya akan menganalisis mengenai peran gender dalam relasi rumah tangga dan
berpacaran.
1.
Relasi
dalam rumah tangga
Saya mengobservasi sebuah keluarga
kecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak laki-laki yang masih berusia 2 tahun.
Dalam hal ini suami bekerja sebagai staf/karyawan di bank, dan istri bekerja
sebagai staf/karyawan di rumah sakit. Kegiatan mereka sehari-hari adalah
sebagai berikut:
Waktu
|
Suami
|
Istri
|
03.30
05.00
05.30
07.00
07.30
08.00
20.00
20.15
20.30
21.30
|
-
Bangun langsung sholat shubuh.
Jagain anak, mandi persiapan
kerja.
Sarapan
Berangkat kerja + nitipin anak
Kerja
Pulang kerja + sholat Isya’
Jemput anak
Makan, istirahat, nonton tv
Tidur
|
Bangun, cuci piring, cuci baju,
setrika, memasak.
Sholat shubuh
Memandikan anak, nyuapin anak,
persiapan kerja.
Sarapan
Berangkat kerja + nitipin anak
Kerja
Pulang kerja + sholat isya’
Menyiapkan makan malam
Makan, beres-beres, nonton tv
Tidur
|
Dari jadwal tersebut, sudah jelas ada suatu koordinasi yang
baik dalam pembagian tugas antara suami dan istri. Tercipta suatu kesetaraan
gender, karena terdapat kesempatan yang sama antara keduanya dalam sektor
domestik. Suami dan istri sama-sama mempunyai kesempatan untuk bekerja mencari
nafkah diluar, meskipun yang bertanggung jawab dalam hal tersebut adalah suami.
Tetapi istri juga senang menjalaninya, karena dapat mengaplikasikan ilmunya dan
sekaligus membantu meringankan beban suami, tentunya hal ini tidak terlepas
dari tanggung jawab istri untuk mengatur rumah tangga tersebut. Selain bekerja
diluar rumah, istri juga melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dari
anaknya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jam yang dimanfaatkan istri untuk
bekerja baik di dalam rumah, maupun diluar rumah. Dan saya rasa hal tersebut
adil-adil saja, karena mereka menjalaninya secara sukarela tanpa adanya paksaan
dari siapa pun. Dan tidak ditemukan adanya indikator ketidakadilan gender dalam
keluarga tersebut.
2.
Relasi
dalam berpacaran
Untuk mengamati peran gender dalam relasi ini, saya telah
mewawancarai teman yang sedang berstatus pacaran, mereka juga berstatus sebagai
mahasiswa di sebuah universitas dan hasilnya adalah sebagai berikut:
Mereka berpacaran sudah hampir 3 tahun, dalam relasi
tersebut terdapat aturan-aturan yang telah dibuat oleh keduanya yang sampai
sekarang masih berlaku, antara lain: harus saling setia, saling menjaga
perasaan pasangan, lebih membatasi diri antara keduanya karena memang belum
mahramnya, ijin ke pasangan kalau mau pergi dengan teman yang lawan jenis
berdua. Bahkan orang tua pun juga ikut membuat aturan untuk mereka, antara
lain: ijin dahulu kalau mau pergi keluar, boleh keluar malam asal tidak lebih
dari jam 21.00, kalau mau pergi harus jelas tujuannya, serta dilarang terlalu
sering pergi keluar berduaan.
Dari aturan-aturan tersebut sanksi yang diberlakukan, yang
paling parah yaitu kata “putus”. Kemudian selain hal tersebut ada juga
kewajiban-kewajiban yang telah mereka buat dan harus dilaksanakan, antara lain:
kewajiban laki-laki yaitu menjemput di rumah wanita kalau mau pergi keluar,
melindungi wanita dari gangguan laki-laki lain. Kewajiban perempuan, yaitu mmpu
membantu jika laki-laki meminta bantuan.
Dalam relasi ini juga ada tuntutan dari keduanya, antara
lain:
Laki-laki kepada perempuan: menjadi sosok yang bisa hadir
saat dibutuhkan, bisa menjaga perasaan laki-laki.
Perempuan kepada laki-laki: mampu memenuhi jika dimintai
bantuan, dapat pekerjaan yang layak dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.
Mereka menyikapinya dengan wajar, karena memang penting
adanya diskusi atau koordinasi antara keduanya untuk mencapai suatu keadilan
dalam menjalin suatu hubungan. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan dan
keadilan gender serta menjauhkan dari indikator – indikator adanya
ketidakadilan gender. Hal ini dibuktikan dengan adanya porsi yang sama dalam
tugas-tugas mereka yang terlahir sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Tidak
ditemukan adanya ketimpangan dalam relasi ini. Justru kesetaraan gender lah yang
nampak. Dalam relasi ini keduanya merasa nyaman dan berencana akan melanjutkan
ke tahap pernikahan setelah mereka lulus.
Dari hasil kedua observasi saya
tersebut, di era modern ini sangat cocok untuk diterapkan. Karena peran gender
sangat dibutuhkan demi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender.
Indikator-indikator yang menyebabkan adanya ketidakadilan gender haruslah
dihindari. Demi terciptanya suatu hubungan yang harmonis, aman, tentram, damai,
dan nyaman, bebas dari adanya penindasan antara satu sama lainnya.
By:
Afrik Yunari /HES7
STAIN
Tulungagung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar