Rabu, 25 September 2013

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM MENJALIN SUATU RELASI (Hubungan Rumah Tangga Dan Berpacaran)


Gender dipahami sebagai suatu konsep mengenai peran laki-laki dan perempuan di suatu masa dan kultur tertentu yang dikonstruksi. Hal ini merupakan hasil bentukan ketentuan kehidupan bersosial bukan biologis. Gender sebagai konsep yang mengacu pada peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Gender memiliki pengertian perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang bukan pada tataran biologis dan kodrat Tuhan, melainkan dalam tataran sosial budaya. Gender merupakan cara pandang yang membedakan antara laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang dikonstruksi oleh manusia, baik laki-laki ataupun perempuan melalui  proses sosial dan budaya yang panjang dalam sejarah peradaban manusia.
Adapun ideologi gender adalah segala aturan, nilai, mitos, yang mengatur hubungan laki-laki perempuan yang didahului oleh pembentukan identitas feminisme dan maskulin. Ideologi tersebut dipertahankan dan disosialisasikan melalui berbagai pranata seperti: keluarga, pendidikan, agama, karya sastra dan seni lainnya, politik negara, media massa, dan lain-lain. Sebagai contoh: publik adalah dunia laki-laki, domestik adalah dunia perempuan, kekerasan yang dialami perempuan adalah wajar, perkosaan terhadap perempuan yang terjadi dikarenakan wanita tidak dapat menjaga diri.
Gender menjelaskan semua atribut, peran dan kegiatan yang terkait dengan menjadi laki-laki atau menjadi perempuan. Gender berkaitan dengan bagaimana kita dipahami dan diharapkan untuk berfikir dan bertindak sebagai laki-laki atau perempuan karena begitulah cara masyarakat memandangnya.
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Ketidakadilan gender merupakan ketimpangan yang terjadi sehingga mengakibatkan salah satu gender mengalami diskriminasi. Bentuk-bentuk diskriminasi tersebut antara lain:
1.    Marginalisasi
Suatu proses peminggiran akibat perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan.
Banyak cara yang dapat digunakan untuk memarjinalkan seseorang atau kelompok. Salah satunya adalah dengan menggunakan asumsi gender. Misalnya dengan anggapan bahwa perempuan berfungsi sebagai pencari nafkah tambahan, maka ketika mereka bekerja diluar rumah (sektor publik), seringkali dinilai dengan anggapan tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka sebenarnya telah berlangsung proses pemiskinan dengan alasan gender.
Contoh :
a)    Guru TK, perawat, pekerja konveksi, buruh pabrik, pembantu rumah tangga dinilai sebagai pekerja rendah, sehingga berpengaruh pada tingkat gaji/upah yang diterima.
b)   Masih banyaknya pekerja perempuan di pabrik yang rentan terhadap PHK dikarenakan tidak mempunyai ikatan formal dari perusahaan tempat bekerja karena alasan-alasan gender, seperti sebagai pencari nafkah tambahan, pekerja sambilan dan juga alasan faktor reproduksinya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui.
c)    Perubahan dari sistem pertanian tradisional kepada sistem pertanian modern dengan menggunakan mesin-mesin traktor telah memarjinalkan pekerja perempuan.
2.    Subordinasi
Suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Telah diketahui, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, telah memisahkan dan memilah-milah peran-peran gender, laki-laki dan perempuan. Perempuan dianggap bertanggung jawab dan memiliki peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam urusan publik atau produksi.
Contoh :
a)    Masih sedikitnya jumlah perempuan yang bekerja pada posisi atau peran pengambil keputusan atau penentu kebijakan dibanding laki-laki.
b)   Dalam pengupahan, perempuan yang menikah dianggap sebagai lajang, karena mendapat nafkah dari suami dan terkadang terkena potongan pajak.
c)    Masih sedikitnya jumlah keterwakilan perempuan dalam dunia politik (anggota legislatif dan eksekutif ).
3.    Sterotipe atau Pelabelan Negatif
Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotipe gender laki-laki dan perempuan. Stereotipe itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat. Dalam hal ini, seringkali pelabelan negatif ditimpakan kepada perempuan.
Contoh :
a)    Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
b)   Perempuan tidak rasional, emosional.
c)    Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
d)   Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
e)    Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.
4.    Kekerasan
Tindak kekerasan, baik fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga, masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminisme dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.
Contoh :
1.    Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap isterinya di dalam rumah tangga.
2.    Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan. Perkosaan juga bisa terjadi dalam rumah tangga karena konsekuensi tertentu yang dibebankan kepada istri untuk harus melayani suaminya. Hal ini bisa terjadi karena konstruksi yang melekatinya.
3.    Pelecehan seksual (molestation), yaitu jenis kekerasan yang terselubung dengan cara memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik tubuh.
4.    Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.
5.    Genital mutilation: penyunatan terhadap anak perempuan. Hal ini terjadi karena alasan untuk mengontrol perempuan.
6.    Prostitution: pelacuran. Pelacuran dilarang oleh pemerintah tetapi juga dipungut pajak darinya. Inilah bentuk ketidakadilan yang diakibatkan oleh sistem tertentu dan pekerjaan pelacuran juga dianggap rendah.
5.    Beban Ganda (double burden)
Beban pekerjaan yang diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin lainnya. Ada peningkatan jumlah perempuan yang bekerja diwilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya beban mereka di wilayah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya. Namun demikian, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan. Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
Dengan adanya uraian tersebut diatas, saya akan menganalisis mengenai peran gender dalam relasi rumah tangga dan berpacaran.
1.    Relasi dalam rumah tangga
Saya mengobservasi sebuah keluarga kecil yang terdiri dari suami, istri, dan anak laki-laki yang masih berusia 2 tahun. Dalam hal ini suami bekerja sebagai staf/karyawan di bank, dan istri bekerja sebagai staf/karyawan di rumah sakit. Kegiatan mereka sehari-hari adalah sebagai berikut:
Waktu
Suami
Istri
03.30

05.00

05.30

07.00
07.30
08.00
20.00
20.15
20.30
21.30
-

Bangun langsung sholat shubuh.

Jagain anak, mandi persiapan kerja.

Sarapan
Berangkat kerja + nitipin anak
Kerja
Pulang kerja + sholat Isya’
Jemput anak
Makan, istirahat, nonton tv
Tidur
Bangun, cuci piring, cuci baju, setrika, memasak.
Sholat shubuh

Memandikan anak, nyuapin anak, persiapan kerja.
Sarapan
Berangkat kerja + nitipin anak
Kerja
Pulang kerja + sholat isya’
Menyiapkan makan malam
Makan, beres-beres, nonton tv
Tidur

Dari jadwal tersebut, sudah jelas ada suatu koordinasi yang baik dalam pembagian tugas antara suami dan istri. Tercipta suatu kesetaraan gender, karena terdapat kesempatan yang sama antara keduanya dalam sektor domestik. Suami dan istri sama-sama mempunyai kesempatan untuk bekerja mencari nafkah diluar, meskipun yang bertanggung jawab dalam hal tersebut adalah suami. Tetapi istri juga senang menjalaninya, karena dapat mengaplikasikan ilmunya dan sekaligus membantu meringankan beban suami, tentunya hal ini tidak terlepas dari tanggung jawab istri untuk mengatur rumah tangga tersebut. Selain bekerja diluar rumah, istri juga melakukan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu dari anaknya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya jam yang dimanfaatkan istri untuk bekerja baik di dalam rumah, maupun diluar rumah. Dan saya rasa hal tersebut adil-adil saja, karena mereka menjalaninya secara sukarela tanpa adanya paksaan dari siapa pun. Dan tidak ditemukan adanya indikator ketidakadilan gender dalam keluarga tersebut.
2.    Relasi dalam berpacaran
Untuk mengamati peran gender dalam relasi ini, saya telah mewawancarai teman yang sedang berstatus pacaran, mereka juga berstatus sebagai mahasiswa di sebuah universitas dan hasilnya adalah sebagai berikut:
Mereka berpacaran sudah hampir 3 tahun, dalam relasi tersebut terdapat aturan-aturan yang telah dibuat oleh keduanya yang sampai sekarang masih berlaku, antara lain: harus saling setia, saling menjaga perasaan pasangan, lebih membatasi diri antara keduanya karena memang belum mahramnya, ijin ke pasangan kalau mau pergi dengan teman yang lawan jenis berdua. Bahkan orang tua pun juga ikut membuat aturan untuk mereka, antara lain: ijin dahulu kalau mau pergi keluar, boleh keluar malam asal tidak lebih dari jam 21.00, kalau mau pergi harus jelas tujuannya, serta dilarang terlalu sering pergi keluar berduaan.
Dari aturan-aturan tersebut sanksi yang diberlakukan, yang paling parah yaitu kata “putus”. Kemudian selain hal tersebut ada juga kewajiban-kewajiban yang telah mereka buat dan harus dilaksanakan, antara lain: kewajiban laki-laki yaitu menjemput di rumah wanita kalau mau pergi keluar, melindungi wanita dari gangguan laki-laki lain. Kewajiban perempuan, yaitu mmpu membantu jika laki-laki meminta bantuan. 
Dalam relasi ini juga ada tuntutan dari keduanya, antara lain:
Laki-laki kepada perempuan: menjadi sosok yang bisa hadir saat dibutuhkan, bisa menjaga perasaan laki-laki.
Perempuan kepada laki-laki: mampu memenuhi jika dimintai bantuan, dapat pekerjaan yang layak dan memiliki tanggung jawab yang tinggi.
Mereka menyikapinya dengan wajar, karena memang penting adanya diskusi atau koordinasi antara keduanya untuk mencapai suatu keadilan dalam menjalin suatu hubungan. Hal ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender serta menjauhkan dari indikator – indikator adanya ketidakadilan gender. Hal ini dibuktikan dengan adanya porsi yang sama dalam tugas-tugas mereka yang terlahir sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Tidak ditemukan adanya ketimpangan dalam relasi ini. Justru kesetaraan gender lah yang nampak. Dalam relasi ini keduanya merasa nyaman dan berencana akan melanjutkan ke tahap pernikahan setelah mereka lulus.
Dari hasil kedua observasi saya tersebut, di era modern ini sangat cocok untuk diterapkan. Karena peran gender sangat dibutuhkan demi terciptanya kesetaraan dan keadilan gender. Indikator-indikator yang menyebabkan adanya ketidakadilan gender haruslah dihindari. Demi terciptanya suatu hubungan yang harmonis, aman, tentram, damai, dan nyaman, bebas dari adanya penindasan antara satu sama lainnya.


                                                                                                   By:   Afrik Yunari /HES7

                                                                                                          STAIN Tulungagung